Burung Beo Alor atau yang bernama latin Gracula religiosa mertensi Rensch, adalah salah satu jenis burung asli dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Burung  ini memiliki nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat asli NTT. Namun populasinya terus menurun, hingga saat ini sangat sulit ditemukan di habitat alamnya sehingga burung ini sekarang telah menjadi salah satu satwa yang di lindungi dari kepunahannya.

Spesies ini adalah salah satu dari lima subspesies G. religiosa Linnaeus, 1758 dari keluarga Sturnidae yang ada di Indonesia. Subspesies yang lain adalah G. religiosa religiosa, G. religiosa robusta, G. religiosa batuensis, dan G. religiosa venerata (Panudjukarso 1995, Priyono et al. 1996). Burung beo alor ini tersebar di pulau Flores (Ende) dan Alor (Pantar) Nusa Tenggara Timur (NTT).

Untuk penjelasannya secara lanjut adalah sebenernya ada 4 spesies beo di dunia ini, satu di antaranya adalah Gracula religiosa yang terdiri atas 9 subspesies dan 5 subjenis hidup di Indonesia. Subspesies Burung Beo yang ada di Indonesia ini adalah:

  1. Beo sumbawa (Gracula religiosa venerata): habitat Sumbawa, Bali, Timor, dan Nusa Tenggara.
  2. Beo flores (Gracula religiosa mertensi): Flores, Pantar, dan Alor.
  3. Beo batu ( Gracula religiosa batuensis): Batu dan Kepulauan Mentawai.
  4. Beo jawa (Gracula religiosa religiosa): Jawa, Bali, Sumatera, Bangka, Kalimantan, dan Malaysia.
  5. Beo nias (Gracula religiosa robusta): Pulau Nias, serta pulau-pulau kecil di sebelah barat Sumatera seperti Pulau Babi, Tuangku, dan Bankaru. Ciri Burung Beo Alor

Secara umum burung beo alor memiliki bulu berwarna hitam mengkilap, paruh berwarna kuning serta pada bagian samping kepala dan tengkuk leher terdapat cuping berwarna kuning (Anonimous 1994). Khusus pada burung beo Alor yang sudah mempunyai panjang badan 30,5 cm terdapat ujung cuping yang membelok ke atas di mana pangkalnya terpisah.

Penelitian Burung Beo Alor

Pengamatan menggunakan empat ekor burung beo Alor. Hasil pengamatan menunjukkan burung beo Alor di penangkaran Oilsonbai memiliki 13 macam aktivitas harian yang digolongkan ke dalam tiga perilaku utama, yaitu perilaku diam, bergerak, dan ingestif. Perilaku diam adalah istirahat, stasioner, berjemur. Perilaku bergerak adalah jalan, memanjat, mendatangi, terbang, membersihkan diri, menggelantung, dan bersuara. Perilaku ingestif adalah makan, minum, defekasi, dan urinasi. Hasil analisis menunjukkan rata-rata frekuensi pada perilaku bergerak adalah 472 kali dengan rata-rata aktivitas 67 kali/ekor/hari, dan rata-rata frekuensi relatif 8,2%. Rata-rata frekuensi pada perilaku ingestif adalah 344 kali dengan rata-rata aktivitas 49 kali/ekor/hari, dan frekuensi relatif 6,1%. Rata-rata frekuensi perilaku diam adalah 340 kali dengan rata-rata aktivitas 49 kali/ekor/hari, dan frekuensi relatif 6%.

Populasi Burung Beo Alor

Populasi burung ini di alam sudah mengalami penurunan yang sangat drastis akibat perburuan liar untuk diperdagangkan. Ini di karenakan burung beo alor ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi hingga menjadi komoditas perdagangan liar. Kerusakan pada habitat asli juga turut menjadi penyebab turunnya poplasi subspesies ini. Dengan adanya perburuan liar yang dilakukan secara terus menerus tanpa adanya upaya untuk menjaga kelestariannya, dikhawatirkan suatu saat burung beo alor ini akan mengalami kepunahan. Padahal burung ini merupakan salah satu potensi sumber daya alam NTT. Burung beo alor seperti juga burung beo lainnya digemari sebagai hewan peliharaan karena keindahan warna bulu dan kemampuannya menirukan suara. Burung beo bisa meniru kata-kata, kalimat pendek, siulan, nyanyian, atau suara binatang di sekitarnya. Hal ini membuat harga burung beo di pasaran cukup tinggi, harganya bisa mencapai Rp 500.000 per ekor untuk burung beo dewasa. Selain karena perburuan liar oleh masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar, burung beo juga sering dijadikan sebagai cindera mata bagi para pejabat yang berkunjung ke daerah.