cacing-sutra
  • Facebook
  • Twitter
  • Pinterest
  • Print Friendly

Prospek Budidaya Cacing Sutra – Cacing sutra sebagai komoditas di bidang budidaya perairan, khususnya perikanan dimanfaatkan sebagai sumber pakan alami larva ikan di usaha pembenihan ikan, baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Daya serap terhadap produksi cacing sutera terbesar pada pembenihan ikan lele, gurami, tombro, koi dan lain-lain. Selain itu cacing sutera juga sebagai sumber pakan alami ikan hias di akurium.

Ketergantungan pasar terhadap komoditas cacing sutera dari tangkapan alam sebenarnya tidak menguntungkan bagi pembenih ikan karena biasanya kualitas cacing sutera tidak baik, bahkan cenderung dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada bibit ikan dan bahkan dapat menyebabkan kematian masal. Timbulnya penyakit ini disebabkan cacing sutera membawa bahan pencemar dari asalnya, karena asal tangkapan dari perairan yang tercemar, membawa jamur juga bakteri. Meskipun biasanya pembenih ikan akan mencuci dahulu cacing sutera dan merendam dalam air dengan kandungan methyllin blue rendah sebelum memberikan sebagai pakan bibit ikan.

Cacing sutera dari hasil budidaya mempunyai beberapa kelebihan yaitu: kualitasnya baik jika dibandingkan daripada tangkapan dari alam, kesehatan, umur panen dan ukurannya seragam, serta kuantitas dan kontinuitas produksi dapat dijaga.
Sebenarnya teknologi budidaya cacing sutera telah penulis sampaikan pada acara pelatihan teknologi budidaya sumberdaya alam hayati di Yayasan Paralektos, Yayasan yang diketuai Drs. Radius Prawiro, kira-kira tahun 1995. Pada waktu itu penulis juga menguraikan teknologi budidaya jangkrik.
Setelah itu penulis sering menjadi narasumber, khususnya budidaya cacing sutera dan banyaknya orang bertanya langsung baik di kantor maupun di jalan. Yang saya sampaikan prinsip-prinsip budidaya cacing sutera saja dan kebanyakan mereka (perusahaan besar, kelompok, dan perorangan) berhasil mencobanya.
Seperti halnya teknologi budidaya jangkrik, teknologi cacing sutera penulis peroleh saat masih di usia anak-anak, kira-kira pada awal tahun 1970 dan selanjutnya dilengkapi dengan teori pada waktu kuliah di Fakultas biologi UGM.
Awalnya cacing sutera itu ditemui penulis di “peceren”, nampak seperti karpet berwarna merah, “peceren” merupakan tempat berkumpulnya pembuangan limbah rumah tangga, dapur, kamar mandi (orang dulu jika mandi belum pakai sabun, mungkin khusus orang desa), juga kotoran ayam karena berdekatan dengan kandang ayam. Dari sinilah penulis pada waktu kuliah di Fakultas Biologi UGM mengadakan penelitian yang mendalam tentang budidaya cacing sutera dan ditemukan prinsip-prinsip budidaya cacing sutera yaitu antara lain:
  1. Cacing sutera memerlukan substrat yang kaya nutrien, oleh karena itu penulis menemukan formula lumpur kolam yang halus, abu yang merupakan sisa pembakaran bahan organik dan kotoran ayam yang sudah menjadi humus, kuantitasnya kotoran ayam tidak boleh lebih dari 20 %.
  2. Substrat yang merupakan campuran dari lumpur kolam, abu dan kotoran ayam dicampur secara homogen dan ditaruh merata di dalam kolam dengan ketebalan 7-10 cm.
  3. Cacing sutera memerlukan kecukupan oksigen terlarut dalam air, maka substrat harus selalu tergenang air yang mengalir, kedalaman air tidak boleh kurang dari 4 cm, arus air lambat.
  4. Substrat diharapkan benar-benar siap, ditunjukkan adanya adanya kehidupan jasad renik yang dapat dilihat secara kasad mata, sehingga bibit cacing sutera yang ditanam di dalam kolam budidaya akan segera menyesuaikan diri dan berkembang biak.
  5. Cacing sutera memerlukan intensitas sinar matahari rendah, maka disarankan kolam budidaya di kasih peneduh 60-70 %.

Tanda-tanda budidaya cacing sutera akan berhasil jika cacing sutera tersebar merata, terlihat kepala cacing sutera menancap masuk pada substrat dan ekornya yang menyerupai sulak bergoyang melingkar dan menggerakkan air untuk mencukupi kebutuhan oksigen bagi dirinya.