Burung Perkutut bisa dikatakan merupakan pemenuhan kepuasan atau kenikmatan pribadi. Suara anggungannya dapat memberikan suasana tenang, teduh, santai bahagia dan seolah-olah pemiliknya dapat berhubungan dengan alam semesta secara langsung. Lebih dari itu, perkutut tenyata memiliki keistimewaan luar biasa karena dianggap memiliki kekuatan gaib yang dapat mempengaruhi pemiliknya berdasarkan katuranggan atau ciri mathi, sehingga dipercaya memiliki pengaruh baik (membawa keberuntungan) atau buruk ( membawa sial) bagi pemilik atau si pemelihara.

Untuk mengetahui baik atau tidaknya seekor perkutut, dapat di tilik berdasarkan katuranggan  (ciri fisik seperti bentuk tubuh, bulu, paruh, kaki ) dan ciri mathi (sifat, perilaku dan pada saat berbunyi ). Perkutu yang manggung menyongsong terbitnya matahari ( gedong mengo ), juga yang manggung menyertai terbenamnya matahari (gedong minep ) atau dari susunan bunyinya ( widana sreku/widah sana gasta gasti ), sangat baik dipelihara karena akan mendatangkan rezeki atau menaikkan derajat / pangkat.

Hal ini juga berlaku untuk perkutut yang berbulu putih di tengah kepala ( satria kinayungan ), perkutut jambul (songgo ratu), bulu ekornya 15 lembar (pandawa mijil ), matanya bersinar kuning (mercu juwa). Sedangkan perkutut yang seluruh bulunya putih bersih atau hitam legam yang dianggap rajanya perkutut, kalau dipelihara akan memberukan keberuntungan.

Pertukut yang ekornya terdapat satu bulu putih (buntel mayit), berbulu semu merah (brama susur), berbulu kuning kemerahan (brama labuh geni), berbulu semu hitam (wisnu kucem), bulu pundak putih (candala cabda), manggung-nya tengah malam (durga duwuh) atau siang malam (durga ngerik), konon tidak baik dipelihara karena pengaruhnya buruk bagi si pemilik/ pemelihara.

Penjelasan dan Ciri Perkutut Katuranggan

Karuranggan berasal dari kata kautur (menyampaikan) dan angga (badan). Jadi katuranggan adalah pengetahuan bentuk bentuk badan burung perkutut. B agi penggemar burung perkutut tempo dulu, katuranggan sangat memegang peranan untama (selin bunyi suaranya) dalam memilih burung bakalan untuk dijadikan burung kesayangannya.

Biasanya, perkutut katuranggan dikaitkan dengan perkutut lokal yang diyakini mempunyai “kekuatan gaib” menurut kepercayaan orang-orang tempo dulu terutama masyarakat tradisi jawa dan bukan perkutut silang atau sering disebut dengan Perkutut Bangkok yang yang banyak dilihat dan dipelihara saat ini dimana diyakini sudah tidak lagi memiliki kekuatan gaib sesuai dengan pikiran masyarakat modern.

Kebiasaan menikmati bunyi “anggungan” perkutut ini dimulai sejak jaman Majapahit dan memang burung yang satu ini pada waktu itu hanya dipelihara oleh kalangan ningrat kerajaan yang semakin dikembangkan pada saat kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tauhn 1877-1921.

Perkutut juga diyakini sebagai bilangan kelima dari kelengkapan seorang pria sejati yang sempurna dalam tradisi jawa yang berlatar kebudayaan keraton yaitu : Wisma (rumah), Garwa (istri), Curiga (keris), Turangga (kuda), dan Kukila (Perkutut). Itulah mengapa sangat sulit bahkan hampir langka mencari peternak burung perkutut katuranggan dibandingkan peternak perkutut bangkok.