Jika kita melihat sebuah ruang kelas, wajah burung yang satu ini akan selalu terlihat bertengger di bagian depan, tepat di atas foto presiden dan wakilnya. Ya!, burung Garuda sang lambang negara Indonesia dan Filipina ini memang makhluk legenda. Berasal dari mitologi Hindu tentang seekor burung berbadan manusia yang menjadi tunggangan sang dewa Wisnu. Memang mustahil melihat garuda asli di dunia nyata, namun elang berjambul yang satu ini memang terlihat sangat mirip dengan sang Garuda. Inilah Elang Jawa, sang Garuda dari bumi pertiwi.

Berdasarkan Keppres no 4 Tahun 1993, Elang Jawa bersama beberapa satwa lainnya diangkat sebagai Satwa Nasional yang menjadi kebanggaan bumi pertiwi. Elang yang juga menjadi maskot klub sepakbola PSS Sleman ini memang sangat karismatik, terlebih dengan jambulnya yang sangat mirip dengan sang Garuda yang menjadi lambang negara NKRI. Tidak salah kalau burung ini sering disebut sebagai ‘burung Garuda’ oleh para pengamat burung yang terpesona akan kegagahannya ketika terbang di angkasa.

Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) atau Javan Hawk-Eagle merupakan elang berukuran sedang dengan panjang tubuh sekitar 60 cm. Ciri-ciri Elang Jawa yang paling dapat dikenali adalah jambulnya yang khas, berwarna hitam dan menjulang gagah di atas kepalanya. Elang Jawa dewasa memiliki bulu punggung yang gelap, dengan warna coklat kemerahan di sisi kepala, coretan vertikal di tenggorokan, dan garis-garis horizontal hitam di dada dengan latar putih. Elang Jawa muda atau juvenil juga memiliki jambul, namun dengan coklat pucat yang seragam di tubuh bagian depan. Saat terbang, burung ini dapat dikenali dari sayapnya yang membulat, menekuk ke atas membentuk huruf ‘v’, dan adanya garis-garis hitam di pinggir sayap.

Habitat Elang Jawa

Elang jawa
  • Facebook
  • Twitter
  • Pinterest
  • Print Friendly

Seperti namanya, Elang Jawa memang hanya bisa ditemukan di Pulau Jawa, meskipun terdapat beberapa catatan dari Bali. Elang berjambul ini menyukai daerah hutan pegunungan, hutan perbukitan dan daerah perkebunan hingga ketinggian 3000 mdpl, namun juga terdapat satu catatan dari hutan yang dekat dengan laut di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Elang ini sering menunggu mangsanya di tajuk-tajuk pohon, menyambar berbagai macam hewan kecil seperti tikus, tupai, ayam-hutan, dan kadal.

Sama seperti burung pemangsa lain, Elang Jawa hidup berpasangan dalam satu teretori yang luas. Burung ini mulai bereproduksi di usia 3-4 tahun, dan biasanya hanya akan kawin dengan satu pasangan yang sama seumur hidupnya (monogami). Musim kawin Elang Jawa terjadi antara bulan Mei-September, namun ada juga catatan sarang aktif dari bulan Januari hingga Juni. Diperkirakan elang ini sebenarnya dapat berbiak sepanjang tahun, tergantung kondisi cuaca dan ketersediaan mangsa. Namun, tidak semua pasangan berhasil membesarkan telurnya akibat ‘dirampok’ oleh satwa lain, seperti kera dan manusia, sehingga pasangan tersebut harus menunggu hingga musim berikutnya.

Sarang Elang Jawa dibuat di atas pohon dengan ketinggian antara 40-50 meter. Pohon sarang yang dipilih biasanya terpisah dari pohon lain untuk menghindari gangguan satwa lain, termasuk manusia. Sarang terbuat dari ranting-ranting kering yang dikumpulkan oleh kedua calon induk yang berbiak. Seekor betina biasanya hanya menghasilkan satu butir telur setiap 2-3 tahun, sehingga tingkat reproduksi burung ini tergolong rendah. Telur Elang Jawa berukuran sekitar 58×48 mm dan membutuhkan waktu sekitar 45-50 hari untuk menetas.

Penyebab Elang Jawa yang makin langka

Elang jawa
  • Facebook
  • Twitter
  • Pinterest
  • Print Friendly

Di samping rendahnya tingkat reproduksi, perburuan dan kerusakan habitat juga menjadi ancaman yang serius bagi keberlangsungan hidup spesies ini. Seperti yang telah kita ketahui, kerusakan hutan di Pulau Jawa begitu parah, sehingga hanya ada sedikit habitat yang tersisa bagi elang berjambul ini—itupun harus berbagi dengan beberapa jenis elang lain, seperti Elang Hitam dan Elang-ular Bido. Di tengah keterbatasan wilayah hidup dan semakin menipisnya populasi mangsa, Elang Jawa juga harus menghadapi ancaman dari pemburu yang tergiur akan harganya yang mahal. Statusnya sebagai satwa nasional justru menjadi senjata berbahaya bagi burung ini, karena ada banyak orang yang ingin memilikinya hanya demi prestise semata.

Data terakhir pada tahun 2010 menunjukan bahwa setidaknya terdapat 108-542 pasang Elang Jawa yang tersisa di alam, dengan nilai tengah 325 pasang. Dengan tingkat perburuan dan kerusakan habitat yang terjadi, diperkirakan jumlah ini akan terus menurun dari waktu ke waktu. Pada tahun 2004 hingga 2010 diperkirakan ada 220 ekor Elang Jawa yang menghilang dari habitatnya, kemungkinan besar akibat penangkapan untuk dijadikan hewan peliharaan dan falconry ilegal. Hal ini berarti terdapat sekitar 22 ekor Elang Jawa yang ditangkap setiap tahunnya, sehingga bisa diperkirakan populasi elang karismatik ini akan habis di tahun 2025—atau bahkan lebih cepat!

Fakta ini menunjukan bahwa lambang negara kita ini benar-benar terancam punah. IUCN mengkategorikan burung Elang Jawa sebagai terancam punah (Edangered), dengan peluang untuk punah >20% dalam kurun waktu 20 tahun. Burung ini juga termasuk dalam daftar CITES Appendix 1 dan PP no 7 tahun 1999, yang berarti seluruh tindakan penangkapan, perburuan, jual-beli dan kepemilikan atas alasan apapun (seperti falconry) dilarang oleh hukum, dan pelanggar dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 5 tahun. Namun, rendahnya kesadaran masyarakat ditambah kurangnya pengawasan membuat populasi Elang Jawa tetap terancam, sehingga masa depannya pun masih belum jelas.