Tahukah kamu bahwa warga lamongan dulunya memiliki mitos untuk tidak makan lele karena sejarah terkait Boyopatih ? Nah mungkin teman-teman harus menyimak ceritanya terkait Asal Usul Mitos Larangan Makan Lele untuk Warga Lamongan untuk menambah pengetahuan teman-teman semuanya.

Asal Usul Larangan Makan Lele

Dahulu ada seorang santri bernama Boyopatih, beliau diutus oleh kyainya untuk mengambil sebuah pusaka yang di pinjam oleh Mbok Rondo, seorang santri tersebut tidak berhasil meminta dengan cara yang baik, sehingga Mbah Boyopatih mengambil dengan menyerupa sebagai kucing, akan tetapi cara tersebut diketahui oleh Mbok Rondo dan akhirnya Mbok rondo berteriak memanggil semua orang untuk mengejarnya. Boyopatih lari hingga sampai pada tempat jublangan tempat ikan lele, Boyopatih bersembunyi dilorong jublang tersebut. Warga yang mengejar tidak berhasil menemukannya. Boyopatih merasa telah diselamatkan oleh ikan lele dari kejaran masa, akhirnya Boyopatih berkata bahwa anak turun temurunnya dilarang untuk memakan ikan lele, apabila ada yang melanggarnya akan terkena kutukan penyakit gatal-gatal.

Beliau juga di makamkan di tempat tersebut dan di muliakan oleh masyarakat setempat bagi penduduk Lamongan yang masih mempunyai keturunan dari Mbah Boyopatih apabila melanggar memakan atau menjual ikan lele dia akan mengalami gatal-gatal serta kulit melupas dan juga ada yang belang putih seperti kulit ikan lele dan mungkin tidak bisa di sembuhkan oleh obat dan medis kecuali datang ziarah ke makam Waliyulloh Mbah Boyopatih untuk tawassul yaitu berdoa memohon di beri kesembuhan atas penyakit yang dideritanya dan membasuh yang sakit dengan air kolam makam Mbah Boyopatih.

Pantangan tersebut tidak berlaku bagi orang Lamongan yang bukan asli keturunan Mbah Boyopatih atau tidak asli masyarakat dari Lamongan. Tapi meski begitu banyak orang dari luar Lamongan yang sembuh dari penyakit kulitnya sehabis tawassul dan ziarah ke makam Mbah Boyopatih.

Makam Mbah Boyopatih

Makam Mbah Boyopatih dapat dikatakan sebagai makam yang sangat di keramatkan oleh masyarakat Desa Medang khususnya penduduk setempat. Di karenakan jasa sang Waliyulloh yang begitu besar serta karomahnya (kesaktian) yang luar biasa. Tidak hanya masyarakat setempat saja yang datang berkunjung dan berziarah ke makam Mbah Boyopatih melainkan banyak pengunjung yang berasal dari luar daerah Lamongan seperti, Surabaya, Gresik, Tuban terdapat pula pengunjung yang berasal dari luar daerah Jawa Timur seperti Cirebon, Tanggerang dan Jakarta.

Suasana ini menunjukkan pada saat masyarakat setempat melakukan ziarah kubur setiap satu bulan sekali. Tradisi itu biasa dilakukan pada Jum’at Pon. Akan tetapi hari Kamis siang (malam Jum’at Pon) sudah ramai di datangi peziarah dan puncaknya pada Jum’at paginya.

Ziarah Kubur Makam Mbah Boyo Patih

Sebelum melakukan ritual ziarah kubur, para peziarah mensucikan badan terlebih dahulu. Bagi perempuan dilarang berziarah saat menstruasi dikarenakan makam Mbah Boyopatih merupakan tempat yang suci dan dilarang masuk dan berdoa di dalam makam Mbah Boyopatih. Ritual yang dilakukan yaitu membaca doa-doa kemudian dilanjutkan dengan ritual menabur bunga di makam Mbah Boyopatih untuk menghormatinya tanpa menabur bunga masyarakat terasa tidak afdhol.

Apabila ada yang bernadzar keinginannya telah tercapai maka mereka menyiapkan sesaji yang berupa tumpeng berbentuk kerucut dengan nasi putih dilengkapi lauk pauk, seperti lauk pauk tahu tempe, ikan bandeng dan telur. Untuk penggunaan lauk pauk terserah pada setiap individu masing-masing. Penggunaan lauk pauk tidak memiliki makna khusus, tetapi masyarakat memaknai tumpeng sebagai lambang kesucian dengan membawa tumpeng nasi putih masyarakat berasa seperti terlahir kembali. Tumpeng tersebut nantinya akan di berikan kepada juru kunci atau masyarakat yang ingin memakannya. Pembawaan sesaji merupakan bentuk rasa syukur tercapai keinginan seseorang.

Masyarakat yang mempercayai adanya mitos ikan lele ini tentunya memiliki beberapa permohonan yang di lakukan lewat doa-doa yang diharapkan seperti permohonan akan diberikan kesembuhan, permohonan akan diberikan ketenangan hidup secara lahir dan batin, permohonan akan diberikan kekuatan dan ketabahan dalam menjalani hidup, dan permohonan lain agar dapat terkabul atau tercapai setelah melakukan ritual ini secara benar yang sesuai dengan tata cara urutannya adalah pengobatan air jublangan, sesaji atau tumpengan, dan larangan mengambil sesuatu.

Makna Mitos Ikan Lele

Masyarakat Lamongan dapat dengan mudah memahami makna tersebut sesuai dengan apa yang ada dalam pemikiran mereka dengan bebas dan dari sinilah muncul istilah keanekaan makna. Makna religi tampak menonjol pada aktifitas masyarakat Lamongan yang memepercayai adanya Mitos ikan lele. Hal ini dapat di lihat dengan awalan doa-doa yang diucapkan seperti pembacaan Surat Al- Fatihah, Surat Yaasin, dan Tahlil, serta permohonan doa-doa yang dikehendaki. Bagi masyarakat surat Al-fatihah, surat Yaasin dan Tahlil memiliki arti yang berbeda dan makna yang berbeda pula. Makna edukatif dalam aktifitas ziarah ke makam Mbah Boyopatih ini juga tampak menonjol pada keseluruhan ritual tersebut.

Beberapa masyarakat Lamongan secara sadar bahwa dalam beberapa hal mereka tidak dapat menyelesaikan persolan hidup mereka tanpa bantuan pihak lain, dan pihak lain yang dimaksudkan di sini adalah bantuan Allah SWT lewat karomah makam Mbah Boyopatih yang terkandung dalam mitos ikan lele. Masyarakat percaya bahwa “kedekatan” Walilluyah dengan Allah SWT yang berakibat pada diberikannya karomah kepada beliau yang kemudian dapat dirasakan lewat doa-doanya dan air jublangan. Masyarakat menjadikan doa-doa itu sebagai sebuah ritual ketika mereka datang berziarah ke makam Mbah Boyopatih, mereka tidak sadar bahwa itu adalah sebuah pembelajaran buat mereka yang dilakukan sebagai wujud untuk menghormati jasa-jasa tokoh-tokoh tersebut dan mengenang mereka dalam menyebarkan ajaran Islam.

Kebudayaan yang terus berkembang tidak serta menghapuskan semua kebudayaan lama yang telah ada, secara filosofis kebudayaan mitos ikan lele ini sudah berlangsung secara turun temurun dalam jangka waktu yang panjang. Meskipun beberapa masyarakat Lamongan sudah banyak yang sudah mengenal pendidikan namun masyarakat masih memegang teguh dengan adanya mitos ikan lele, bahwa dilarang memakan ikan lele dan tidak dapat di pungkiri bahwa masyarakat sudah mengalami perkembangan seiring dengan pola pikir sekarang.